Bahayanya Menjadi Pemimpin Yang TOO NICE

by Erick Iskandar


Posted on 25-Jun-2020



Dilema pemimpin antara bersikap “too nice” dengan “not nice enough

 

 

Dilema Pemimpin: antara bersikap "terlalu baik" (too nice) atau "kurang baik" (not nice enough).

 

Niceness Bell Curve

Ps: Niceness Bell Curve diciptakan oleh Botelho dan Powell dalam buku karyanya "The CEO Next Door

 

 

Pemimpin yang "too nice" terkadang merasa kasihan / tidak tega pada orang lain sehingga tidak memberikan ketegasan yang menjadi prinsip dalam bisnis / manajemen. Hal ini berbahaya karena perilaku buruk yang "dibiarkan" akan memberi efek bola salju penurunan semangat kinerja tim yang lain. 

 

Jika Pemimpin menahan dan tidak memberikan feedback karena merasa tidak enak atau “harusnya dia sudah tahu”, maka ia kehilangan momen penting untuk membuat timnya bertumbuh melalui proses feedback. Jangan sampai rasa kasihan / tidak enak / “nanti dia tersinggung” menghalangi kita sebagai pemimpin untuk memberikan feedback dan ketegasan yang membangun anggota tim kita dan menjaga proses kerja tetap on the track.  

 

Menjadi "too nice" juga berbahaya karena bisa mendorong sang pemimpin untuk berusaha tampil sebagai "orang baik" yang berupaya menyenangkan sebanyak mungkin orang dan mengabaikan prinsip yang lebih besar untuk kepentingan organisasi.

 

Salah satu ciri pemimpin yang “too nice” adalah memberikan penilaian kinerja dipukul rata bagus semua untuk semua anggota timnya tanpa berdasarkan pertimbangan dan krietria yang jelas dan objektif. Mungkin tujuan awal sang pemimpin adalah agar adil bagi semua timnya – tanpa ia sadari justru hal ini malah menciptakan ketidakadilan bagi timnya.

 

Bisa jadi niat Pemimpin untuk berusaha “tampil baik” adalah untuk menciptakan suasana kerja yang nyaman dan aman. Namun kita perlu ingat juga, bahwa suasana kerja yang nyaman saja tidak cukup. Kita tetap perlu suasana kerja yang “strive for excellence”, dimana setiap anggota tim senantiasa totalitas dalam memberikan kinerja terbaiknya. Suasana ini hanya dapat tercipta ketika pemimpin set the expectation / standard untuk bersama mencapai tujuan organisasi dan tidak terjebak menjadi "too nice".

 


 

 

Sementara, menjadi "not nice enough" juga berbahaya karena ketika pemimpin tidak mendengarkan orang lain, mengucapkan kata-kata kritik tajam, memberikan pressure berlebihan, ataupun keseringan judes, maka hubungan kepercayaan dan engagement tim akan rendah.

 

Pemimpin perlu melatih kesadaran dirinya terhadap perilaku-perilakunya yang “not nice enough”: bagaimana perilakunya saat mengutarakan ketidaksetujuan di meeting, apa yang ia katakan saat ingin mengoreksi anggota timya di depan umum, sikap apa yang ia tunjukkan saat ia sedang bad mood, dsb. Keadaran diri yang terpelihara akan menjadi guidance bagi pemimpin untuk tidak terjebak menjadi “not nice enough”.

 

 

Pemimpin perlu menjaga keseimbangan diantara "too nice" dan "not nice enough". Sebab business performance / result tercapai optimal ketika pemimpin mampu berpijak dengan kokoh diantara dua kutub kontinum tersebut. Bahwa result dan relationship adalah hal yang sama-sama dapat dicapai.

 

 

Kepemimpinan bukanlah mengenai menyenangkan orang lain melainkan mengenai melakukan apa yang benar.