Posted on 15-Sep-2020
Social Comparison adalah suatu bentuk perilaku membandingkan antara milik diri sendiri (gaji, status, kepemilikan, kemampuan, dsb) secara relatif dengan milik orang lain.
Pepatah bilang “rumput tetangga selalu lebih hijau”. Akibat dari pepatah ini beberapa dari antara kita ada yang kemudian merasa inferior, tidak PD, minder, memendam kekesalan, bahkan bisa berujung pada rasa cemburu akibat membandingkan diri kita dengan orang lain. Pada jangka panjang, hal ini bisa MERAMPOK KEBAHAGIAAN kita. Bisa jadi anda yang membaca tulisan ini kemudian merasa “ah, nggak juga, saya mah biasa aja. Saya gak akan minder ataupaun cemburu”. Well, berhati-hatilah karena “social comparison” ini terjadi tanpa kita sadari. Jangan pernah merasa bahwa kita bisa bebas dari bias-bias tertentu yang dihasilkan oleh pikiran kita.
Dalam konteks karir pekerjaan kita, “social comparison” ini bisa mewujud dalam contoh-contoh “self-talk” berikut ini yang sering muncul dalam benak kita:
Rasanya tidak ada habisnya self-talk kita saat membanding-banding-kan kepemilikan diri kita dengan kepemilikan orang lain. Kita bisa sangat dikuasai RASA TIDAK MAU KALAH yang kemudian berkamuflase menjadi RASA DIPERLAKUKAN TIDAK ADIL. Padahal jika kita mau jujur lebih lanjut dan mencerna konteks lebih luas – sebenarnya bukannya kita diperlakukan tidak adil – kitanya yang sebenarnya tidak mau kalah.
Coba anda perhatikan gambar di bawah ini:
Perhatikan lingkaran berwarna oranye pada gambar di atas. Manakah lingkaran oranye yang ukurannya lebih besar? Apakah yang di sebelah kiri atau di sebelah kanan?
Secara normal, mata kita mencerna bahwa lingkaran oranye di sebelah kanan lah yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan yang di sebelah kiri. Padahal jika diukur, ukuran lingkaran oranye tersebut adalah SAMA BESAR. Coba saja 😊.
Mengapa mata kita mencerna bahwa lingkaran oranye di sebelah kanan lah yang seakan lebih besar? Kalau kita perhatikan, lingkaran oranye di sebelah kanan dikelilingi oleh lingkaran biru yang lebih kecil – sementara lingkaran oranye di sebelah kiri dikelilingi oleh lingkaran biru yang lebih besar. Keberadaan lingkaran-lingkaran biru tersebut menjadi TITIK REFERENSI kita dalam menilai ukuran lingkaran oranye tersebut. Dengan kata lain, KITA TIDAK MELIHAT LINGKARAN ORANYE TERSEBUT APA ADANYA, KITA MELIHATNYA DALAM KONTEKS DIMANA IA BERADA.
Seperti inilah cara kerja pikiran kita. Pikiran kita menilai sesuatu berdasarkan TITIK REFERENSI TERTENTU. Kita membandingkan jenis mobil kita dengan mobil tetangga kita yang lebih bagus, membandingkan posisi jabatan kita di perusahaan X dengan posisi jabatan teman kita yang lebih bagus di perusahaan Y, membandingkan handphone milik kita dengan milik teman kita yang lebih bagus, membandingkan bonus yang kita terima dengan bonus rekan junior yang jumlahnya sama, dsb. Padahal, BELUM TENTU REFERENSI yang kita gunakan untuk membandingkan tersebut adalah REFERENSI KOMPREHENSIF YANG AKURAT.
Seringkali penilaian kita dari membandingkan diri dengan orang lain hanyalah ilusi pikiran terkait titik referensi yang kita gunakan.
Downward comparison adalah ketika kita membandingkan diri kita dengan orang lain yang lebih memiliki “kekurangan”. Sementara upward comparison adalah ketika kita membandingkan diri kita dengan orang lain yang lebih memiliki “kelebihan”.
Mari kita perhatikan contoh menarik berikut ini:
Penelitian menarik dilakukan Medvec dan timnya (Medvec et al., 1995). Mereka meneliti tingkat kebahagiaan para pemenang medali olimpiade. Secara khusus mereka membandingkan tingkat kebahagiaan antara para pemenang medali perak vs pemenang medali perunggu. Hasilnya adalah: PARA PENERIMA MEDALI PERUNGGU MEMILIKI TINGKAT KEBAHAGIAAN LEBIH TINGGI DIBANDINGKAN PENERIMA MEDALI PERAK.
Mengapa ini bisa terjadi? Karena para penerima medali perak membandingkan dirinya sendiri dengan penerima medali emas, sementara penerima medali perunggu membandingkan dirinya sendiri dengan atlit lain yang tidak mendapat medali. Dengan kata lain, penerima medali perak melakukan “upward comparison” sementara penerima medali perunggu melakukan “downward comparison”. Penelitian ini menunjukkan bahwa “upward comparison” yang kita lakukan dapat MENGURANGI KEBAHAGIAAN kita sendiri.
Coba kita cek diri kita. Seringkali yang membuat kita mengalami emosi negatif adalah ketika kita membandingkan diri kita dengan orang lain yang memiliki sesuatu yang “lebih” dari diri kita. Tanpa kita menyadari bahwa kita sendiri memiliki banyak hal “lebih” dibandingkan orang lain – yang tentunya perlu kita syukuri setiap saat atas segala hal “lebih” tersebut.
Bayangkanlah skenario berikut ini: anda diterima bekerja di suatu perusahaan dan anda memiliki 2 pilihan:
A. Anda menerima gaji 15 juta / bulan, sementara kolega sebaya anda di kantor tersebut menerima 7,5 juta / bulan.
B. Anda menerima gaji 25 juta / bulan, sementara kolega sebaya anda di kantor tersebut menerima 50 juta / bulan.
Pilihan mana yang akan anda pilih? Yakin anda akan sungguh-sungguh memilih option tersebut?
Logikanya tentu kita lebih memilih option B karena kita mendapat gaji yang lebih tinggi dari option A. Namun penelitian yang dilakukan oleh Solnick & Hemenway (1998) kepada para mahasiswa/i Harvard menunjukkan bahwa 56% ORANG LEBIH MEMILIH OPTION A DIBANDINGKAN OPTION B!
Ternyata orang-orang lebih memilih mendapat sedikit asalkan orang lain tidak memiliki hal yang “lebih” dibandingkan dirinya. Wow, betapa kita sebenarnya sangat rentan untuk TIDAK MAU KALAH. Bahkan kita rela berkorban mendapat “lebih sedikit” asalkan orang lain tidak mendapatkan hal yang “lebih banyak” dari kita. Kita merasa lebih baik (feels good) ketika banyak orang lain berada di “bawah” kita.
Penelitian yang dilakukan oleh Clark & Oswald (1996) juga menunjukkan bahwa jika rekan / kolega kantor kita memiliki gaji yang lebih tinggi dibandingkan kita, maka kita akan lebih TIDAK BERBAHAGIA dengan pekerjaan kita tersebut.
Coba kita renungkan sejenak terkait konteks pekerjaan dan karir kita masing-masing. Bukankah ada rasa “puas diri” saat kita tahu bahwa klien lebih memilih dilayani oleh kita dibandingkan rekan kita yang lebih junior? Bukankah kita merasa “lebih jago” saat penilaian kinerja menunjukkan KPI kita lebih banyak tercapai dibandingkan KPI kolega kita? Bukankah kita merasa bete dan kecewa saat ternyata teman kita yang naik jabatan duluan dibandingkan kita?
Setiap hari sebagian besar dari kita sangat terpapar dengan media sosial yang dengan mudah kita akses dari handphone maupun berbagai gadget. Facebook, Instagram, Twitter, LinkedIn, Youtube, dsb sudah jadi gaya hidup masa kini. Tanpa kita sadari, berbagai media sosial ini merasuk pada alam bawah sadar kita dan menanamkan konstruksi social comparison yang kita lakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Vogel dan timnya (Vogel et al., 2014) menunjukkan bahwa ada korelasi antara menggunakan Facebook dengan tingkat harga diri (self-esteem) seseorang. SEMAKIN BANYAK SESEORANG MENGGUNAKAN FACEBOOK, SEMAKIN IA MEMILIKI HARGA DIRI YANG RENDAH.
Vogel dan timnya juga melakukan penelitian terkait “upward comparison” dan “downward comparison” dalam konteks penggunaan Facebook. Bahwa orang yang melakukan upward comparison melalui media sosial MEMILIKI TINGKAT HARGA DIRI YANG LEBIH RENDAH dibandingkan dengan orang yang melakukan downward comparison. Namun, melakukan downward comparison tidak terbukti dapat memboosting harga diri ybs.
Coba cek diri kita saat menggunakan medsos. Tidakkah kita merasa tersaingi saat orang yang kita kenal melakukan hal-hal yang tampak lebih “wah” dibandingkan diri kita? Kalau boleh jujur, sebenarnya rasa tersaingi itu pasti muncul dalam kadar tertentu pada diri kita. Atau saat kita melihat Instagram feed orang yang kita kenal pelesiran ke luar kota / luar negri, tiba-tiba kita terpantik untuk segera merencanakan keluar kota / ke luar negri karena rasa tidak mau kalah.
Kita sudah membahas bagaimana social comparison dapat merampok kebahagiaan kita. Sekarang, mari kaita bahas cara-cara efektif apa yang dapat kita lakukan untuk mem-filter agar social comparison ini dapat terkelola dengan baik dan tidak merusak well-being diri kita.
Jika kita merasa diperlakukan tidak adil karena bonus tahunan kolega kita lebih besar, coba cek secara lebih komprehensif faktor-faktornya. Bisa jadi kita tidak paham bahwa ybs berhasil meraih KPI tertentu atau sikap ybs yang berani pasang badan membela perusahaan di saat-saat krisis – sehingga dinilai oleh Manajemen ybs berhak mendapatkan bonus tahunan yang lebih besar.
Atau saat kita bete ketika tahu bahwa mantan kolega kita sukses jadi pengusaha – padahal dulu dalam hal prestasi kerja dia kalah dari kita. Kajilah ulang titik referensi yang kita gunakan. Bisa jadi kita tidak tahu bahwa ybs memiliki privilege dalam rupa warisan bisnis dari orangtuanya yang sudah mapan. Intinya, banyak blindspot (titik buta) yang tidak kita ketahui terkait titik referensi yang kita gunakan. Bukalah pikiran dan hati kita lebih lebar untuk melihat titik referensi dari sudut pandang lain yang selama ini bisa jadi tidak terihat oleh kita.
Sadarilah saat kita melakukan social comparison - baik melalui pengalaman nyata sehari-hari maupun saat kita menggunakan medsos. Ketika kita mulai terdorong melakukan social comparison secara berlebihan, segeralah hentikan. Katakan STOP pada diri kita, kemudian alihkan fokus pemikiran kita pada hal yang lebih positif dan lebih membangkitkan semangat.
Saat social comparison mulai menyeruak dalam pikiran kita, lakukanlah “downward comparison” baik terhadap pengalaman kita di masa lampau maupun terhadap apa yang pernah dialami orang lain. Contoh: saat kita mulai melakukan social comparison terhadap karir teman seangkatan kita yang tampak lebih sukses, ingatlah kembali momen-momen dimana kita masih menjadi jobseeker yang berjuang mendapat pekerjaan. Niscaya kita akan mensyukuri karir yang ada saat ini.
Atau saat kita mulai melakukan social comparison terhadap mobil kolega kita yang tampak lebih mewah, ingatlah kolega kita yang lain yang masih berjuang untuk bisa memiliki mobil. Niscaya kita sungguh memahami bahwa apa yang kita miliki sudah baik dan sungguh layak kita syukuri.
Penelitian menunjukkan bahwa pikiran kita tidak dapat merasa bete maupun bersyukur secara bersamaan. Saat kita bersyukur, kita berfokus pada kebaikan-kebaikan yang dianugrahkan pada kita. Ketika kita mengekspresikan rasa syukur, otak akan menghasilkan dopamine dan serotonin yang membuat kita merasa positif dan menciptakan kebahagiaan. Lakukanlah “gratitude journal”. Siapkan satu jurnal khusus agar anda dapat me-list-kan hal-hal baik apa yang anda syukuri. Ungkapkan rasa syukur anda dengan menuliskan pada gratitude journal tersebut. Lakukan SETIAP HARI dimana anda menyediakan waktu khusus untuk berfokus menuliskan rasa syukur anda.
Ketika pikiran dan hati kita berfokus pada rasa syukur, kita akan menciptakan “contentment” pada diri kita yang akan menjadi penangkal emosi negatif. Hal ini akan membuat social comparison sulit menyeruak masuk dalam pikiran kita.
Kesuksesan dan keberhasilan itu sebenarnya sudah tersebar luas di banyak tempat. Tergantung kita untuk bisa mendapatkan ataupun membuatnya datang menghampiri kita. Sehingga ketika orang lain mendapat keberhasilan dan pencapaian yang baik, kita perlu turut senang – bahkan jika perlu turut rayakan bersama mereka. Keberhasilan orang lain perlu menjadi pemacu bagi kita untuk belajar darinya dan tidak perlu menjadi upward comparison yang membuat kita jadi cemburu dan merasa kalah. Kita perlu membuktikan bahwa pepatah yang bilang “susah lihat orang lain senang, senang lihat orang lain susah” sesungguhnya tidak tepat.
Dengan memandang bahwa hidup ini memiliki anugrah yang begitu luas bagi masing-masing individu, maka kita tidak perlu merasa inferior atas keberhasilan orang lain. Setiap dari kita memiliki “jalan”nya masing-masing untuk bertekun didalam proses guna mencapai kegemilangan di waktu yang telah ditentukan bagi kita masing-masing.
Gunakan medsos seperlunya. Distraksi medsos itu sungguh nyata. Ia bahkan bisa menjadi adiksi tanpa kita sadari. Pastikan informasi yang berseliweran di timeline kita adalah informasi positif yang menguatkan dan mencerahkan – bukan yang riuh dengan tebar pesona yang bisa memantik kita melakukan social comparison terus menerus.
Lakukan seleksi ketat terhadap info-info yang ada di timeline. Buang yang tidak perlu. Kurangi durasi penggunaaan medsos.
Pada akhirnya, rumput tetangga dan rumput kita memiliki kesegaran dan warna hijau-nya masing-masing. Saat taman dan rumput tetangga bertumbuh segar dan tampak lebih hijau, ikutlah bergembira bersama mereka dan pastikan kita juga tekun merawat dan menumbuhkembangkan taman kita sendiri agar warna hijau dan kesegarannya senantiasa terpelihara dan menjadi inspirasi bagi taman orang lain.
Referensi: Coursera online course “The science of well-being” by Laurie Santos, Yale University, 2020.