Humility Sebagai Kekuatan Kepemimpinan

by ErickIskandar


Posted on 01-Mar-2022



Arogansi adalah resep ampuh kegagalan dalam memimpin.

 

Anda pernah dipimpin oleh pemimpin yang arogan? Atau bisa jadi kita yang pernah menjadi pemimpin arogan bagi orang lain.

 

Ciri pemimpin arogan adalah memiliki pola perilaku yang merendahkan orang lain dalam upaya membuktikkan kehebatan dan superioritas dirinya sendiri. Ia ingin menjadi pusat perhatian, menolak feedback, memandang diri sendiri sebagai yang “lebih / di atas” orang lain, kurang mau mendengarkan (Burke, 2006).

 

Jika menilisik studi kasus bisnis berbagai perusahan yang mengalami kejatuhan seperti Enron, Ford Motor, Scott Paper & Sunbeam, AOL Time Warner, tampak jelas bahwa arogansi sang pemimpin di perusahaan-perusahaan tersebut adalah penyebab utama kejatuhannya (Dweck, 2006).

 

Mari kita sambil mengecek bagaimana kadar arogansi para pemimpin yang ada di organisasi kita, termasuk kadar arogansi kita sendiri sebagai pemimpin.

.....

 

Pemimpin perlu menumbuhkembangkan Humility (kerendahan hati) sebagai ketrampilan penting dalam memimpin agar mampu mengeluarkan kehebatan anggota timnya. Pemimpin yang memiliki “Humility” akan cenderung terbuka pikirannya, menilai dirinya secara akurat (tidak berlebihan / tidak kekurangan), tidak berorientasi pada diri sendiri, menerima kondisi “ketidaksempurnaan” lingkungan sekitarnya, dan tetap berjuang menggapai keunggulan (Hess, 2020).

 

Mari kita cermati beberapa dikotomi kepemimpinan yang didorong oleh arogansi dan yang dibimbing oleh Humility:

 

 

The know-it-all leader Vs. Learn-it-all leader

Know-it-all” leader merasa bahwa ia lebih tahu / lebih mampu / lebih berpengalaman dari yang lain. Karena merasa lebih tahu, ia pun sering memaksakan keinginannya sendiri. Ia enggan mengakui bahwa ada banyak hal yang ia “tidak tahu” dan “belum mampu”. Ia bahkan bisa menutupi “ketidak kompeten-an” dirinya dengan melempar tanggung jawab pada timnya, sehingga seakan-akan orang lain yang tidak kompeten dan bukan dirinya. Lalu dengan tanpa rasa bersalah, ia akan menilai bahwa anggota timnya tidak mampu dan tidak kompeten dalam tugasnya, tanpa ia menyadari bahwa ia punya tanggung jawab untuk membimbing dan me-mentor anggota timnya tersebut sampai mampu dan kompeten. Seringkali “know-it-all” leader memposisikan dirinya sebagai orang yang serba tahu untuk menutupi rasa inferiornya akan ketidakmampuan dirinya.

 

Sementara “learn-it-all” leader memiliki keterbukaan pikiran dan kedewasaan diri untuk mengakui akan apa yang ia belum mampu / belum tahu, mau untuk meminta bantuan dan bimbingan – bahkan dari anggota timnya sekalipun. Ia tidak berpura-pura bahwa ia sudah tahu. Ia dengan terbuka mengakui jika ada hal yang ia tidak tahu dan ia butuh bantuan.

Ia memiliki Intellectual Humility: kesediaan untuk menerima dan mengakui bahwa ia bisa salah.

Ia membuka diri untuk belajar dari siapapun, mau menerima feedback yang membangun, aktif bertanya untuk mencari tahu, berani melakukan eksperimen, merefleksikan kesalahan yang ia lakukan dan belajar dari kesalahan tersebut. Ia berorientasi pada kemajuan, bukan pada kebutuhan akan pengakuan.

 

Hoarding power Vs. Giving power

Pemimpin yang didorong oleh rasa arogan akan cenderung menyimpan, menahan dan mengupayakan kekuasaan senantiasa ada padanya. Baginya, kekuasaan adalah alat untuk memenuhi keinginan diri, untuk mencapai ambisi pribadi dan pengakuan sosial. Ia melekatkan identitas dirinya pada kekuasaan / jabatan yang dimiliki sehingga merasa perlu mempertahankannya mati-mati an – terutama jika ada ancaman yang datang terhadap kekuasaan tersebut. Ia akan menyerang orang lain yang menurutnya bisa menjadi ancaman bagi posisi / kekuasaan yang ia miliki di organisasi. Dengan berbagai cara, ia akan membentuk kubu dan memainkan drama politik kantor agar ia dapat tetap berada dalam zona nyamannya dengan kekuasaan / senioritas / kewenangan yang ia miliki. Tanpa ia sadari bahwa ia hanya menciptakan “tembok relasi” dengan orang lain – yang membuat orang di sekelilingnya hanya “basa-basi” untuk menyenangkan dirinya saja – tanpa keinginan menjalin relasi yang lebih dalam dan bermakna dengannya.

 

Pemimpin yang didorong oleh Humility akan mendelegasikan kekuasaan pada timnya. Ia ingin agar timnya BERDAYA, memiliki kemandirian, dan berkreativitas sesuai keunikan masing-masing. Karena itu ia mendistribusikan kewenangan, memberi otonomi, dan memperlengkapi timnya dengan sumber daya yang dibutuhkan. Baginya, kekuasaan adalah alat untuk menciptakan kebermanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. Ia sadar bahwa kekuasaan / jabatan yang ia miliki hanyalah titipan yang tidak perlu dipegang mati-mati-an untuk dipertahankan. Seringkali bahkan orang-orang menaruh respect padanya bukan karena kekuasaan yang ia miliki, melainkan karena kedewasaan dan kebaikan hatinya sebagai pribadi.

 

 

Winning too much Vs. Allowing others to win

Pemimpin yang didorong rasa arogansi akan berupaya memenangkan setiap argumen, tidak mau kalah dalam pembicaraan / perdebatan, berupaya dianggap sebagai yang paling pintar, berupaya agar ide-nya yang lebih dipilih untuk dijalankan. Ia mengambil posisi untuk lebih banyak bicara, memberi perintah dan instruksi. Ia enggan melakukan kaderisasi kepemimpinan untuk anggota timnya, karena baginya itu bukan prioritas. Baginya yang penting adalah ia masih punya kewenangan dan kekuasaan menjalankan operasional bisnis departemennya  secara aman dan lancar. Ketika ia berupaya “menang” terus menerus dalam setiap pembicaraan / interaksi / komunikasi, secara langsung ia sedang menggerus hubungan kepercayaan dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya.

 

Pemimpin yang didorong oleh Humility mampu menahan diri untuk tidak terjebak dalam situasi win – lose. Seringkali ia justru mengambil posisi “mundur” agar orang lain bisa “maju”. Ia bersedia untuk tidak berada di bawah “lampu sorot” dan mempersilahkan orang lain yang mendapatkan pujian dan pengakuan. Ia bersedia untuk sesekali mengalah dan membiarkan orang lain mendapatkan kesempatan untuk maju, berkontribusi, dan menunjukkan kinerja. Kendati ia bisa mengambil kesempatan untuk tampil, ia rela memberikan kesempatan tersebut pada anggota timnya agar mereka bisa perform dan mendapat pengakuan. Ia adalah pemimpin yang membuka jalan bagi orang lain agar mereka bisa maju, bertumbuh, dan menjadi hebat.

 

 

Mari pelihara Humility kita. Dengannya kita akan mampu menjalankan kepemimpinan kita dengan lebih efektif, lebih berdaya, lebih berdampak positif bagi orang di sekeliling, dan tidak terjebak dalam arogansi yang membahayakan.