Infuse Cultures of Growth in Your Organization

by ErickIskandar


Posted on 16-May-2024



Benarkah bahwa fixed mindset dengan growth mindset adalah sebuah dikotomi?

 

Jika anda googling “fixed vs growth mindset”, maka anda akan mendapati banyak image dan ilustrasi yang menggambarkan perbedaan keduanya sebagai sebuah dikotomi.

 

fixed vs growth mindset

 

Carol Dweck melalui karyanya “Mindset: The new Psychology of Success” adalah orang pertama yang mengembangkan mengenai term fixed mindset vs growth mindset. Orang-orang yang memiliki fixed mindset mengembangkan keyakinan bahwa orang dilahirkan dengan ketrampilan dan kemampuan tertentu yang bersifat menetap (fixed). Sementara orang-orang dengan Growth Mindset mengembangkan keyakinan bahwa setiap orang adalah pembelajar berkelanjutan – bahwa ketrampilan dan kemampuan dapat terus dikembangkan melalui dedikasi, proses belajar, dan kerja keras. Growth Mindset menjadikan seseorang mencintai proses belajar dan memiliki daya tahan saat menghadapi kesulitan.

 

Kembali pada pertanyaan di awal: apakah fixed dan growth mindset adalah sebuah dikotomi? Apakah artinya kita hanya punya dua pilihan, yaitu fixed atau growth mindset saja?

 

Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Psikolog Sosial Mary Murphy (yang meneruskan karya Carol Dweck) menunjukkan bahwa mindset tidak bersifat statis. Mindset berada dalam suatu kontinum. Kita tidak memiliki fixed mindset saja ataupun growth mindset saja. Kita memiliki keduanya!

 

Terkadang kita bertindak melalui fixed mindset kita, di lain waktu kita bertindak melalui growth mindset kita. Sehingga pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah: Kapan dan bagaimana kita bergerak sepanjang kontinum fixed dan growth mindset kita tersebut?

 

mindset continuum

 

 

Pemimpin berperan besar dalam menumbuhkan fixed maupun growth mindset

 

Bagaimanapun, peran lingkungan eksternal berpengaruh besar pada terbentuknya mindset seseorang. Sebesar apapun usaha kita untuk menumbuhkembangkan growth mindset dalam diri, pada akhirnya kita akan cepat terpeleset pada fixed mindset jika budaya organisasi tempat kita bekerja memiliki kecenderungan kebiasaan fixed mindset.

 

“Every gathering of two or more people – whether we’re with our kids, partners, schools, coworkers, teams, or our entire organization – each context has its own mindset culture, which influences our beliefs and behaviors.”

 

Mary Murphy dalam obersarvasinya terhadap interaksi mahasiswa – dosen mengamati bahwa sikap dan perilaku dari sang profesor memberikan dampak sangat besar pada kinerja mahasiswanya. Dalam satu kesempatan seminar, para mahasiswa/i mendapat pressure untuk membuktikkan bahwa ide mereka berharga, untuk mempertahankan ide mereka di hadapan sang profesor. Kebanyakan mahasiswa/i di seminar tersebut mengalami stres dan menghindari tugas sang profesor. Sementara di kelas seminar lain dengan pofesor yang berbeda, sang profesor mengambil peran yang lebih kolaboratif. Ia mengajukan pertanyaan untuk menggali, melakukan brainstorming bersama para mahasiswa/i, membantu mereka mengembangkan ide-ide mereka sendiri. Ternyata di kelas seminar yang ini, para mahasiswa/i termotivasi dan mampu perform dengan baik.

 

Begitu pula dengan peran pemimpin di tempat kerja. Ia dapat menciptakan suasana kerja dimana anggota timnya merasa stres dan takut – dan dengan demikian terjatuh dalam fixed mindset. Atau ia dapat menciptakan suasana kerja kolaboratif dan semangat belajar – dan dengan demikian membantu anggota timnya mengembangkan growth mindset.

 

 

Trigger yang dapat menciptakan fixed maupun growth mindset

 

Mari kita kaji lebih dalam. Mary Murphy menyatakan ada empat trigger (pemicu) dari faktor eksternal yang dapat menumbuhkan growth mindset kita maupun dapat menjatuhkan kita pada fixed mindset:

 

1. Evaluative situations

Evaluative situations adalah ketika kita sedang berperan dalam situasi dimana kita di-evaluasi / dinilai oleh orang lain. Misalnya saat kita sedang presentasi, saat kita sedang pitching di hadapan klien, saat sedang meeting, saat sedang interview dsb. Dalam situasi ini, kita bisa berfokus untuk membuktikkan pada orang lain betapa pintarnya kita, betapa kita adalah orang paling pintar di ruangan. Kita mengganggap bahwa yang penting adalah pendapat orang lain tentang kita. Jika ini yang menjadi fokus kita, maka kita sedang terjatuh dalam kontinum fixed mindset. Sebaliknya, jika kita berfokus pada upaya terbaik untuk berkontribusi, men-setting diri kita pada “learning mode”, terbuka terhadap masukan sebagai pembelajaran – maka kita sedang berada dalam kontinum growth mindset.

 

Contoh sederhananya adalah coba tonton tayangan-tayangan ajang pencarian bakat seperti got talent, idol, dsb. Perhatikan penilaian dari para juri terhadap kontestannya. Ada juri-juri tertentu yang komentarnya pedas, mendeskreditkan usaha yang dilakukan, menunjukkan seakan-akan talent adalah either you have it or you don’t… Komentar-komentar seperti ini yang akan menjatuhkan orang kepada fixed mindset. Sebaliknya, ada juri-juri tertentu yang memberikan komentar membangun, jika talent kurang perform diberikan masukan, mengajak talent untuk berusaha lebih keras di lain kesempatan, meng-apresiasi usaha yang dilakukan meskipun performance-nya belum optimal…. Komentar-komentar seperti ini yang akan membangun growth mindset seseorang.

 

So, jika anda memegang peran sebagai pemimpin, maka cara anda meng-evaluasi kinerja tim anda sangat mempengaruhi mereka – apakah mereka akan jatuh dalam fixed mindset ataukah akan mengembangkan growth mindset. Jika anda menilai kinerja tim anda dengan membesarkan fokus pada apa yang kurang dari kinerja mereka, memperlakukan mereka seakan-akan kinerja bagus hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, menghargai mereka hanya berdasar kinerja saja tanpa mempertimbangkan sikap kerja mereka – maka gaya kepemimpinan anda hanya akan menjatuhkan tim anda pada kontinum fixed mindset. Organisasi anda akan dipenuhi orang-orang yang berkinerja baik namun bersikap menyebalkan.

 

Sebaliknya, jika anda menilai kinerja tim anda dengan berfokus pada kinerja baik mereka, mengajak mereka belajar dari pengalaman, menilai dengan menghargai usaha mereka, memberikan feedback yang konstruktif – maka gaya kepemimpinan anda akan menumbuhkan tim anda pada kontinum growth mindset.

 

 

2. High-effort situations

High-effort situations adalah situasi dimana kita mengeluarkan usaha, perhatian, dan energi yang lebih daripada biasanya. Misalnya saat mengerjakan project baru, menjalankan peran baru yang belum pernah kita lakukan, melakukan jobdesc baru, menghadapi klien besar yang belum pernah sebelumnya, dsb. Jika kita cenderung menghindari situasi high-effort tersebut, enggan mengambil tanggung jawab untuk stretching kemampuan diri kita – maka kita akan cenderung jatuh pada kontinum fixed mindset.

 

Sebaliknya jika kita memahami bahwa situasi high-effort tsb bermanfaat untuk mencapai goal kita, mengambil resiko melakukannya, memandangnya sebagai kesempatan untuk bertumbuh, keluar dari zona aman kita dengan men-stretching kemampuan kita – maka kita sedang menumbuhkembangkan growth mindset.

 

So, sebagai pemimpin, sejauh mana kita telah menciptakan kondisi high-effort situation yang memungkinkan tim kita untuk menumbuhkan growth mindset mereka? Jika anda sebagai pemimpin lebih banyak memberikan tekanan pekerjaan untuk memaksa tim anda perform, maka tim anda akan cenderung banyak menghindar dan tidak perform. Atau ketika gaya kepemimpinan anda menciptakan rasa takut, maka tim anda akan enggan mengambil resiko untuk melakukan inisiatif-inisiatif kerja yang high-effort karena takut dihukum jika gagal – dan dengan demikian akan menjatuhkan mereka pada kontinum fixed mindset.

 

Sebaliknya jika anda sebagai pemimpin memberikan project yang membutuhkan high-effort sebagai tantangan bagi anggota tim anda, meyakinkan mereka bahwa mereka mampu, menjadi partner bagi mereka selama mereka mengerjakan project tersebut, hadir untuk membimbing dan mengarahkan mereka, mengajak mereka melihat project tsb sebagai tantangan untuk bertumbuh…. Maka anda sedang menumbuhkembangkan kontinum growth mindset tim anda.

 

 

3. Critical feedback

Coba ingatlah terakhir kali anda mendapatkan negative performance review – bagaimana rasanya? Apa yang anda rasakan ketika diberitahu bahwa kinerja anda tidak baik? Ketika kita mendapat penilaian buruk dan seakan-akan harga diri dan identitas diri kita terantung dari penilaian tersebut, maka fixed mindset kita sedang ter-trigger. Atau juga ketika kita berupaya menghindar dari feedback dan berupaya menjadi karyawan tipe “yes boss”, maka fixed mindset kita sedang ter-trigger.

 

Namun ketika kita secara aktif meminta dan terbuka terhadap feedback, memahami bahwa feedback adalah elemen penting dalam pertumbuhan diri – maka kita akan menyambutnya sebagai bagian dari proses pembelajaran dan bukan sebagai ancaman. Dengan demikian kita sedang men-trigger growth mindset kita sendiri.

 

So, sebagai pemimpin, seberapa sering kita memberikan feedback yang membangun untuk tim kita? Bagaimana cara kita memberikan feedback selama ini? Sebab frekuensi dan cara kita memberikan feedback pada tim kita berpangaruh terhadap trigger fixed maupun growth mindset mereka.

 

Jika anda sebagai pemimpin memberikan feedback dengan menyerang pribadi - yang seakan-akan menyiratkan bahwa identitas dan harga diri tim anda bergantung dari kinerja mereka, atau menciptakan rasa takut dimana orang-orang merasa diadili atas kesalahan yang dilakukan…. Maka anda akan cenderung menjatuhkan tim anda pada kontinum fixed mindset.

 

Sebaliknya, jika anda memberikan feedback dengan cara berfokus hanya pada perilaku (tanpa melebar menyerang pribadi), memberikan feedback yang berfokus pada solusi dan pembelajaran terhadap kesalahan, memberikan feedback yang mengajak tim anda untuk terus belajar dan meningkatkan kapasitas diri… Maka anda sedang membantu mereka mengembangkan growth mindset.

 

 

4. The success of others

Jika muncul rasa tidak senang / demotivasi pada diri kita saat melihat kesuksesan / keberhasilan / pencapaian yang diraih oleh rekan kerja / orang lain, dimana kita merasa harusnya kita yang dapat – maka hal ini dapat men-trigger fixed mindset kita. Bahkan bisa memacu kita untuk bertindak mensabotase keberhasilan mereka tsb.

 

Namun jika kita berfokus pada apa yang bisa kita pelajari dari keberhasilan mereka – strategi, usaha, networking, dsb maka kita men-trigger growth mindset. Dengan belajar mengadaptasi / menyesuaikan strategi mereka tsb dengan strategi kita, maka kita pun dapat turut bertumbuh.

 

So, jika anda sebagai pemimpin sering melakukan social comparison (membanding-bandingkan) satu sama lain antar anggota tim anda, membandingkan orang lain sambil menjelekkan yang lain, menyindir tim anda yang lain untuk menjadi seperti temannya yang berprestasi… Maka anda sedang menjatuhkan tim anda pada kontinum fixed mindset.

 

Sebaliknya, jika anda menjadikan tim anda yang berhasil sebagai role model untuk diteladani (tanpa perlu membanding-bandingkannya dengan anggota tim yang lain), meminta ybs untuk sharing best practice yang ia lakukan kepada teman-temannya, mengajak teman-temannya untuk membuka diri terhadap pembelajaran dari keberhasilannya…. Maka anda sedang menumbuhkan kontinum growth mindset pada tim anda.

 

 

Cultures of Genius and Cultures of Growth

Kebiasaan-kebiasaan yang menciptakan fixed mindset disebut dengan Cultures of Genius karena lebih mengapresiasi talent-talent yang dianggap spesial / jenius, yang dianggap lahir dengan kemampuan khusus yang mentakdirkan mereka untuk sukses, yang menganggap bahwa kemampuan dan talent bersifat tetap, bahwa you either “have it” or you don’t.

 

Akibatnya, karyawan yang di-label sebagai bintang menjadi takut mengalami underperform dan akhirnya memilih bermain aman, takut untuk men-stretch diri mereka lebih lagi karena takut gagal. Mereka cenderung menyembunyikan kesalahan, dan buruknya adalah mereka bisa berbohong dan menipu untuk mejaga kekuasaan dan status mereka.

 

Penelitian Mary Murphy menunjukkan bahwa organisasi yang meng-adopt Cultures of Genius memiliki karyawan yang kurang bahagia, kurang engaged, kurang berani mengambil resiko, kurang mempercayai dan kurang jujur satu sama lain. Cultures of Genius cenderung menciptakan suasana kerja yang melelahkan secara emosional, penuh stres, penuh nuansa “menang-kalah” dimana setiap orang berkompetisi secara tidak sehat untuk mendapat perhatian dan sumber daya yang mereka butuhkan. Akibatnya organisasi menjadi tidak adaptif dan berdaya tahan, menghindari inovasi, dan memliki turnover yang tinggi. Lebih parahnya lagi, dalam Cultures of Genius, “menang” dianggap adalah segalanya sehingga mengorbankan etika dan integritas (contoh yang dialami oleh Enron, Theranos, WeWork, dan banyak lagi).

 

Kebiasaan-kebiasaan yang menciptakan growth mindset disebut dengan Cultures of Growth. Organisasi dengan Cultures of Growth meng-adopt keyakinan “learns it all” adalah lebih baik dibandingkan “knows it all.” Dalam budaya ini, para karyawan didukung untuk belajar dan bertumbuh, berani gagal dan salah karena kesalahan yang terjadi dianggap sebagai pembelajaran. Akibatnya mereka memiliki karyawan-karyawan yang mengutamakan kolaborasi, dan penuh dengan inovasi (contohnya Microsoft, Patagonia, Shell).

 

“Growth mindset cultures can transform any group, team, or organization to innovate, collaborate, and reach breakthroughs while also helping each person achieve their potential.”

 

So, sebagai pemimpin, mari kita komit untuk menumbuhkan Cultures of Growth di Organisasi kita dengan memantik trigger-trigger yang tepat untuk menumbuhkembangkan growth mindset pada setiap anggota tim kita. Lakukan apa yang bisa kita lakukan dan biarkan efek berantainya tersebar ke seluruh elemen organisasi.

 

Let’s lead better.

.

.

.

.

Inspired by: "Cultures of Growth: How the New Science of Mindset Can Transform Individuals, Teams, and Organization." by Mary Murphy, 2024