Posted on 07-Apr-2025
Membangun suasana kerja dimana rasa memiliki (belonging) sungguh “asli” dan sungguh dirasakan dalam hati.
“When belonging is real, people thrive. When it’s imposed, people check out” – Beth Kaplan.
Adakah kita merasa telah menjadi diri seutuhnya di tempat kerja? Tanpa perlu memakai topeng untuk menyesuaikan diri? Ataukah kita lebih concern dengan penerimaan orang lain di lingkungan kerja sampai-sampai mengabaikan keotentikan diri?
Kita perlu berani menampilkan diri kita yang otentik sesuai nilai-nilai yang kita anut di tengah lingkungan sekitar yang seringkali menuntut kita untuk conform dengan standard perilaku mereka - yang terkadang membuat kita menjadi tampil “tidak apa adanya” sesuai keunikan diri kita.
Seringkali juga kita merasa kurang dihargai, kurang diakui, kurang “dipandang”, kurang bahagia di tempat kerja – yang mengakibatkan kita jadi “menciut” dan demotivasi. Inilah saatnya untuk step up. Waktunya bagi para leaders untuk menciptakan suasana kerja dimana para karyawan dapat bertumbuh karena mereka merasa diri “cukup”, dapat tampil apa adanya sesuai keunikan diri mereka yang dihargai dan diakui.
Belonging (rasa memiliki / rasa menjadi bagian) yang sejati adalah rasa yang muncul dari dalam, bukan paksaan yang muncul dari luar.
Belonging adalah keinginan dalam diri untuk ambil bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Belonging bukan sekedar kita “dilibatkan.” Namun adalah mengenai diri kita yang dapat tampil seutuhnya tanpa takut merasa ditolak atau dikucilkan. Belonging adalah rasa yang bersifat personal, yang muncul dari dalam diri. Ia tidak bisa dipaksakan dari luar. Ia hanya bisa dirasakan, dialami, dan dimaknai secara personal. Hanya anda yang bisa menentukan apakah anda merasa belonging atau tidak di tempat kerja.
Selama ini masih banyak yang menganggap bahwa “mencocokkan diri” (fitting in) adalah sama dengan belonging. Padahal itu tidak sama. Jika kita banyak mencocokkan diri dengan dengan cara konformitas, meminimalisir potensi kita, mengurungkan niat untuk berpendapat agar kita bisa diterima oleh lingkungan – maka kita sedang mengorbankan otentisitas diri kita. Padahal belonging yang sesungguhnya tidak menuntut self-sacifice kita. Belonging tidak menuntut kita untuk mengkompromikan nilai diri kita hanya untuk sekedar agar tetap dipekerjakan, diterima, atau naik karirnya. Belonging yang sejati adalah ketika kita kita bisa menampilkan diri kita apa adanya secara penuh dan otentik, dan memahami bahwa kita dihargai.
Masalahnya adalah seringkali organisasi lebih me-reward fitting in dibandingkan merawat suasana kerja yang menumbuhkan belonging. Organisasi terkadang lebih mendorong karyawan untuk nge-blend, untuk conform (konformitas), dan “play the game” dibandingkan menciptakan lingkungan dimana orang-orang merasa aman untuk menjadi diri mereka yang asli. Jadi, jika anda harus merubah diri anda untuk merasa “belong” (menjadi bagian), sesungguhnya anda belum membangun belonging sejati.
Belonging yang sejati tidak didapatkan melalui self-sacrifice, melainkan dibangun melalui kepercayaan, rasa hormat, dan kebebasan untuk tampil secara penuh. Ketika tempat kerja lebih memprioritaskan fitting in dibandingkan belonging yang sejati, maka akan tercipta lingkungan dimana orang-orang merasa harus berkinerja namun tidak perlu untuk berpartisipasi, harus conform namun tidak perlu untuk berkontribusi. Belonging yang sejati tidak menuntut anda untuk mengecil dan menyusut!
Belonging uncertainty adalah adalah ketika ada suara-suara dalam benak kita yang bertanya: “Apakah saya merasa belong di sini?”, “Apakah saya masih merasa menjadi outsider?”, “Apakah mereka menghargai saya?”, “Apakah mereka sebenarnya menginginkan saya di sini?”. Ini terjadi ketika ide kita diabaikan di meeting, ketika kita di by pass tanpa sepengetahuan kita dan tanpa penjelasan, ketika pendapat kita berkali-kali dimentahkan, dsb.
Karyawan yang merasa tidak yakin (uncertain) akan belonging mereka akan menyebabkan mereka menjadi lebih banyak diam, menunjukkan disengagement, mengalami burnout, kecemasan, bahkan depresi. Dalam jangka panjang, stress yang mereka alami akan berdampak pada kesehatan mereka. Ketika kita tidak merasa belong, tubuh fisik kita akan berada pada mode waspada, tegang, yang membuat kita sulit fokus, sulit berkolaborasi, dan sulit memberikan yang terbaik di tempat kerja. Belonging sesungguhnya adalah kebutuhan biologis juga.
Orang-orang tidak akan berinovasi di tempat dimana mereka merasa tidak dilihat dan tidak dianggap. Mereka tidak akan mau mengambil resiko ketika kesalahan yang terjadi seakan-akan menjadi bukti bahwa mereka bukan menjadi bagian dari kelompok tertentu. Akibatnya mereka akan menciut, mengecil, menyusut. Mereka akan check out dan akhirnya akan pergi.
Jika perusahaan ingin me-retain orang-orang terbaik, maka para senior leaders perlu berhenti berasumsi bahwa seakan-akan semua orang sudah merasa belong – dan perlu terus menerus berupaya mendapatkan kepercayaan tsb setiap hari, berupaya me-mitigasi dan mengantisipasi akan munculnya belonging uncertainty sebelum semuanya terlambat.
Karyawan tidak meninggalkan perusahaan, mereka meninggalkan manager mereka yang tidak peduli-an. Sesungguhnya manager / atasan adalah pengaruh utama dalam menumbuhkan sense of belonging karyawan. Penelitian menunjukkan bahwa atasan langsung memberi pengaruh lebih besar dalam kesehatan mental karyawan lebih daripada orang lain, termasuk dokter / terapis, bahkan lebih pasangan karyawan ybs.
Ketika manager menciptakan psychological safety, mengakui kontribusi, dan memperlakukan karyawan dengan rasa hormat, maka karyawan akan merasa diakui dan dihargai. Namun ketika manager mengabaikan mereka, mengkritik tanpa memberikan support, dan memblok kesempatan bagi mereka – maka hal ini akan mengikis belonging karyawan pada tingkat yang dalam.
Peduli artinya menunjukkan kebaikan sekaligus ketegasan. Menjaga perasaan sekaligus juga berani terus terang. Peduli artinya menunjukkan support sekaligus meminta tanggung jawab.
Ciptakanlah suasana kerja aman dimana orang-orang merasa diperhatikan, diakui, dihargai. Sering-seringlah ambil waktu untuk menanyakan “How are you really doing?” dan sungguh-sungguh medengarkan dan memberi perhatian. Lakukanlah check-in melampaui sekedar deadline / hasil kerjaan / progress pekerjaan – lakukan check-in untuk menjumpai orang-orang sebagai manusia utuh yang punya emosi / permasalahannya masing-masing.
Kepedulian juga ditunjukkan melalui keterusterangan (candor) – menyampaikan kebenaran- pada orang lain kendati bisa menyebabkan orang tsb tidak nyaman – karena kita ingin mereka sukses dan menjadi pribadi yang lebih baik. Leader perlu berani melakukan pembicaraan sulit sebagai bentuk kepeduliannya pada timnya. Jika sebagai leader anda tidak melakukan coaching secara jujur, terbuka, memberikan feedback konstruktif pada tim anda – maka anda tidak memimpin mereka. Memberikan feedback secara jujur dan penuh kepedulian akan membantu orang bertumbuh.
Kepedulian juga artinya melakukan mentorship, sponsorhip, advokasi, memastikan orang-orang yang anda pimpin mendapatkan visibilitas yang layak. Sebagai leader, tanyakan pada diri kita “Kapan terakhir kali saya membuat salah seorang anggota tim saya merasa diperhatikan? Didukung? Diakui? Dipedulikan?” Jika kita masih belum tau jawabannya, berarti waktunya untuk memikirkan ulang kepemimpinan kita sendiri.
Jika organisasi / perusahaan memaksakan belonging, maka karyawan akan merasa bahwa mereka lah yang bermasalah ketika mereka tidak merasakan belonging. Sehingga para karyawan justru akan memalsukan (berpura-pura) diri mereka merasa belong, daripada berupaya membangun connection yang real.
Belonging adalah hal yang sangat personal. Belonging bukanlah mengenai kebijakan / slogan. Belonging adalah sesuatu yang terjadi ketika karyawan merasa dipedulikan, diperhatikan, didengar, dihargai. Belonging dibangun melalui hubungan kepercayaan (trust), rasa aman psikologis (psyhological safety), dan hubungan / relasi yang sejati.
Maka berhati-hatilah jika ada perusahaan yang memasang slogan “You belong here!” pada hall / ruang meeting / materi induksi karyawan baru – karena sesungguhnya belonging tidak bisa sekedar pengumuman / perintah dari perusahaan agar para karyawan menerimanya. Ia tidak bisa dipaksakan dari luar. Ia dirasakan dari dalam. Belonging adalah sesuatu yang kita rasakan secara personal, bukan sesuatu yang diperintahkan pada kita.
Jika perusahaan ingin berhenti memaksakan belonging dari luar dan mulai berupaya mendapatkannya dari karyawan, maka mereka perlu untuk:
Leaders, mari, ini saatnya kita membangun suasana kerja dimana belonging bukan sesuatu yang kita kondisikan atau paksakan dari luar, melainkan sesuatu yang asli, yang diupayakan, dan dirasakan secara mendalam. Ketika karyawan dipaksakan untuk menunjukkan perilaku belonging dibandingkan mengalaminya secara langsung didalam dirinya – maka yang terjadi adalah perilaku palsu dimana mereka hanya formalitas ikut mengangguk, tersenyum, atau sekedar partisipasi – padahal dalam hati mereka merasa “Saya tidak merasa belong di sini, tapi saya tidak berani menyuarakannya.”
Inilah yang akhirnya menimbulkan sindrom bebek: yaitu sindrom seperti bebek berenang – tampak baik-baik saja di permukaan, dimana perilaku kerja tampak normal, tenang, selaras – padahal di bawah air, kaki bebek berkeriapan berjuang untuk berenang. Memalsukan rasa belonging sungguh melelahkan, yang dapat mengakibatkan burnout, disengagement dan bahkan rasa benci di tempat kerja.
Leaders, mari ciptakan suasana kerja dimana belonging sungguh lahir dari dalam diri anggota tim secara asli, bermakna, dan dirasakan secara personal.
Source: "Braving the Workplace: Belonging at the Breaking Point" by Beth Kaplan, 2025.